Senin, 16 Mei 2016

Makalah PSB "Lembaga keagamaan dan militansi sosial"



    BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Salah satu unsur universal dalam kehidupan umat manusia adalah  agama yang disebut juga dengan sistem religi, agama merupakan bagian dari  sistem religi ini. Hampir setiap umat manusia dimuka bumi mengenal keberadaan agama. Kemunculan agama tidak lepas dari munculnya sebuah kesadaran dalam diri manusia mengenai adanya kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Keberadaan zat adikodrati yang berada di luar diri manusia sudah diyakini sejak manusia tinggal di bumi.
Auguste Comte telah merumuskan sebuah teori bahwa tahap awal perkembangan manusia  adalah tahap teologis, pada tahap ini manusia merasakan keberadaan sesuatu (benda) yang memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Wujud “ Benda” tersebut masih bersifat abstrak, mereka mewujudkan benda tersebut dengan sebuah dewa atau mahluk lain yang tidak tampak.Kekuatan supranatural itu bersifat abstarak dan sulit diterima dengan akal sehat.
Akal manusia pun berkembang, mereka mulai mempercayai hal-hal yang sifatnya konkrit dan kekuatan supranutal tersebut kemudian di wujudkan dalam bentuk kekuatan yang sifatnya konkrit. Manusia mulai mempercayai bahwa setiap benda-benda di sekitar  mereka memiliki kekuatan. Mereka kemudian menyembah pohon, sungai, matahari, serta berbagai fenomena alam seperti banjir,petir, dan sebagainya yang dapatditangkap oleh pancaindra mereka.
Agama berkaitan erat dengan kepercayaaan manusia akan kekuatan supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk maupun aktivitas, juga diwujudkan dalam berbagai symbol. Agama kemudian mampu menggerakan pola pikir manusia, dan mampu mengendalikan prilaku manusia dan agama juga mampu mengubah hidup manusia. Dimana manusia lebih banyak dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sendiri sehingga pengetahuannya mengatasi kesadarannya. Unutuk itu dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai agama sebagai militansi sosial dimasyarakat
B.  RUMUSAN MASALAHs
1.      Jelaskan pengertian Lembaga Keagamaan dan Militansi sosial ?
2.      Jelaskan Hubungan Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial ?
3.      Bagaimana Peran Lembaga keagamaan dan militansi sosial dalam perubahan sosial dan budaya ?
C.      TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui pengertian  Lembaga Keagamaan dan  militansi sosial
2.      Untuk mengetahui  Hubungan Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial
3.      Untuk mengetahui Peran Lembaga keagamaan dan militansi sosial dalam perubahan sosial dan budaya
D.  MANFAAT PENULISAN
Dari penulisan makalah ini diharapkan:
1.      Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian  Lembaga Keagamaan dan militansi sosial
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan Hubungan lembaga Keagamaan dan militansi sosial
3.      Mahasiswa mampu menjelaskan Peran Lembaga keagamaan dan militansi sosial dalam perubahan sosial dan budaya






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial
Sandarson ( 1993) menyatakan bahwa agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti bahwa setiap masyarakat memiliki cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Secara Sosiologis konsep agama terdiri terdiri atas  berbagai symbol, citra kepercayaan, serta nilai-nilai spesifik tempat  manusia  menginterperstasikan eksistensi mereka.
Sosiologi tidak pernah memberikan penilaiaan bahwa agama yang satu lebih baik daripada agama yang lain, dan tidak pernah mencari mana agama yang paling benar. Semua agama memiliki kedudukan yang sama dan merupakan satu bentuk kesatuan dengan manusia. Secara sosiologis agama  merupakan satu isu yang berkaitan dengan kepercayaan, dan para soiolog berurusan dengan hal-hal yang sifatnya empiris.( Heslin, 2006 ).
Menurut Durkheim ( 1815-1917), agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktik-praktik yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat suci yaitu hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang. Kepercayaan dan praktik-praktik yang mempersatukan suatu komunitas moral. yang dinamakan umat. Dari pengertian diatas mengenai agama yang dimaksud dengan lembaga keagamaan  adalah lembaga yang terdapat di masyarakat  dengan beragam variasi yang biasanya berpusat pada suatu pola  yang sudah tetap dan mapan. Durkhein kemudian melihat bahwa dalam setiap agama memisahkan antara hal yang sifatnya suci dan duniawi. Aspek kesucian dalam agama berkaitan dengan sisi supranatural yang menginspirasi, kekaguman, penghormatan, penghargaan yang mendalam, bahkan  rasa takut. Aspek duniawi menurut durkheim merupakan aspek kehidupan yang tidak  terkait dengan agama atau tujuan keagamaan, namun merupakan satu bagian dalam kehidupan sehari-hari ( Heslin, 2006 ).
E.B Tylor ( 1832-1917) menyebutkan bahwa agama bearti keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. Hal ini dikatakan bahwa sebagai  suatu yang mirip di miliki oleh seluruh agama, yaitu  adanya keyakinan terhadap roh-roh berpikir, berperilaku, dan berperasaan seperti manusia. Esensi dari setiap agama adalah animism yaitu adanya kepercayaan pada roh-roh nenek moyang.
Karl Marx ( 1818-1883) Berpandangan bahwa agama itu adalah sebagai bentuk alienasi. Marx memunculkan dua titik tolak pemikiran  yaitu bahwa ekonomi sebagai hal yang memengaruhi prilaku manusia  serta yang kedua adalah dalam sejarahnya  manusia memiliki konflik pertentangan kelas yang terjadi secara terus menerus antara yang memiliki barang dan yang harus bekerja banting tulang agar tetap bertahan hidup. Seperti pula bahwa kebutuhan hidup manusia adalah sandang, pangan, dan papan yang setelah mampu di dapatkan akan menuju keinginan lainnya. Alienasi menurut Marx adalah suatu keteransingan dari manusia itu sendiri, hal tersebut terjadi karena perbuatan manusia itulah yang menyebabkan terjadinya alienasi. Dan tentu saja alienasi ada yang diletakkan secara sengaja kepada manusia termasuk ide-idenya sendiri padahal manusia adalah yang pemilik sebenarnya. Itulah alienasinya yang paling riil dan menjadi penyebab kesengsaraan  manusia. Namun kritik mengatakan bahwa pemahaman  marx terhadap agama sebagai candu masyarakat dan tempat pelarian masyarakat miskin dari kesengsaraan dan penindasan, sebenarnya dalam  benaknya adalah menjelaskan tentang agama Kristen. Hal itu akan berbeda jika menjelaskan  kebahagiaan hidup setelah mati dan reinkarnasi agama hindu atau kesabaran hidup agama Buddha.
J.G. Frazer ( 1854-1941) memberikan pemahaman mengenai agama berhubungan dengan istilah magic pada jaman primitive. Di mana pada saat itu yang memiliki predikat penguasa magic adalah dukun, tabib, atau tukang sihir yang dianggap mendapatkan kekuasaan sosial dan bahkan menjadi penguasa karena kekuatannya tersebut magis adalah suatu kekuatan yang pada saat itu dapat menguasai alam. Seperti halnya mampu menurunkan hujan atau mendapatkan cahaya pada saat petani membutuhkannya.  Magis di sebut sebagai suatu pengetahuan yang salah dan pada akhirnya digantikan oleh agama saat kemundurannya magis walaupun memiliki kemiripan tersendiri. Jadi agama merupakan suatu evalusi pemikiran dari manusia yang pada akhirnya mengalami kemunduran akibat kedatangan suatu ilmu pengetahuan dan peranannya akan tergantikan.
Adapun Militansi sosial pertama dalam kamus bahasa Indonesia besar kata militant memiliki arti bersemangat atau bergairah, istilah ini sebenarnya dapat bermkna baik, John M. Echols dan Hasan S Hasan Syadily menerjemahkan kata militant dengan agresip. Dan militant juga didefinisikan sebagai self-assertife (  ketegasan diri )  memiliki semangat yang tak pernah tinggi dan seolah ada di mana-mana.
Hanya saja saat ini istilah militant semakin menyempit terbukti saat ini istilah militant Cuma ditujukan dan selalu identik  dengan orang atau kelompok yang kadang di beri label garis keras. Bahkan cenderung di bumbui dengan sinisme kepada individu atau kelompok tertentu. Makna yang berkembang di masyarakat terhadap kata itu telah berubah jadi buruk. Sebab kata ini terus di kaitkan dengan kata terorisme. Orang yang melakukan teror bukan saja disebut teroris tetapi di sebut juga dengan militant. Kata militant merujuk pada orang atau kelompok, orang-orang yang ikut dalam pertempuran fisik maupun verbal yang agresif. Istilah Negara militan dalam bahasa sehari-hari merujuk pada suatu Negara yang memiliki sifat agresif dalam mendukung sebuah ideology atau perkara. Militansi Sosial  berarti hidup dengan sebuah nilai, bahkan orang rela mati demi terwujudnya  suatu nilai.
B.     Hubungan Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial
Agama merupakan suatu lembaga atau institusi  penting yang mengatur kehidupan manusia. Dalam hal ini agama diartikan sebagai religius. Lembaga keagamaan adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan maksud untuk memajukan kepentingan keagamaan umat yang bersangkutan di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup keagamaan  masing-masing umat beragama.
Unsur-unsur lembaga keagamaan menurut Lihgt, Keller dan callhoum (1989) unsur-unsur dasar agama adalah sebagai berikut:
a.       Kepercayaan adalah suatu prinsip yang dianggap benar dan tanpa ada keraguan lain seperti kepercayaan monotheisme yang dipercaya bahwa tuhan itu satu dan percaya adanya reinkarnasi  bagi  umat-umat timur seperti hindu dan budha
b.      Praktik keagamaan seperti berdoa, sembahyang, berpuasa, dan sedekah. Praktik keagamaan berbeda dengan ritual keagamaan karena ritual keagamaaan meliputi hubungan manusia dengan tuhannya dan praktik keagamaan meliputi hubungan  manusia dengan manusia yang lain sesuai dengan ajaran agama
c.       Simbol keagamaan yaitu tanda atau identifikasi agama yang dianut misalnya  bangunan rumah, corak pakaiaan, rumah ibadat umat hindu ( Pura dan Candi ).
Adapun hubungan lembaga keagamaan dengan militansi sosial adalah Agama berkaitan erat dengan kepercayaaan manusia akan kekuatan supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk maupun aktivitas, juga diwujudkan dalam berbagai symbol. Agama kemudian mampu menggerakan pola pikir manusia, dan mampu mengendalikan prilaku manusia dan agama juga mampu mengubah hidup manusia. Dimana manusia lebih banyak dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sendiri sehingga pengetahuannya mengatasi kesadarannya.
Sedangkan Militansi Sosial  berarti hidup dengan sebuah nilai, bahkan orang rela mati demi terwujudnya nilai tersebut. Menjadi militant tidak terus menerus menjadi fundalis. Nilai hidup seorang militan lahir dengan penempaan kritis dan reflektif. Nilai setiap orang haruslah hidup dengan nilai. Ia perluh memiliki cita-cita tertentu, cita-cita itu terwujudkan secara nyata dengan nilai-nilai yang memengaruhi cara berpikir dan prilakunya. Nilailah yang membuat hidup seseorang lebih bermakna. Sekarang ini di Indonesia banyak hidup tanpa nila, mereka tidak memiliki cita-cita luhur sebagai arah hidupnya, nilain adalah syarat bagi semangat militansi bahkan militansi dapat di artikan sebagai suatu sikap hidup yang berpegang pada nilai dalam setiap pola pikir dan prilaku. Orang militant bersediah mati di dalam proses mewujudkan nilai.
Orang militant hidup dengan prinsip yang teguh, namun fleksibel dalam tataran prilaku di dalam proses mewujudkan mimpi itu, di Indonesia kita lebih banyak menemukan orang fundamentalis daripada orang militant, sikap militansi dengan mudah kita temukan  pada sosok bapak-bapak Indonesia seperti Bung Hatta, Bung Karno bahkan Tanmalaka. Sementara saat ini yang kita temukan adalah sikap fundamentalis, ini semua terjadi karena kita jarang berpikir kritis akibatnya kita sebagai bangsa kita sulit untuk berubah.
C.  Peran Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial dalam Perubahan Sosial Budaya
Konsepsi mengenai agama sebenarnya sudah dikenal sejak manusia hidup di Bumi, hanya saja konsep agama pada awalnya masih terbatas, hanya mencakup hubungan manusia dengan kekuatan supranatural. Agama belum menjadi pedoman dalam prilaku manusia sehari-hari. Agama seolah terpisah dengan prilaku manusia. Peran agama dalam kehidupan sosial terkait erat dengan perkembangan pola pikir manusia, sehingga agama juga memainkan peran yang sangat besar dalam proses perubahan sosial di masyarakat. Untuk itu agama juga diposisikan denagan agen perubahan sosial.
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial dalam masyarakat dapat disebut sebagai historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Dalam hal ini agama menjadi katalisator pencegah terjadinya disentegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu dengan kekuatan yang dimilikinya agama dapat diharapkan memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustasi, penindasan dan kemiskinan. Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tertentu bersifat konstektual yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama di kembalikan pada konteks manusia menghayati dan yang meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Ada dua aliran yang melihat peran agama dalam proses perubahan sosial. Posisi Pertama memandang bahwa agama dimaknai sebagai institusi yang menghambat proses perubahan sosial. Pada posisi ini, agama dimaknai sebagai kekuatan konservatif. Posisi ini  didasarkan pada pemikiran yang psimis jika agama dapat mendukung proses perubahan sosial. Posisi kedua sebaliknya memandang agama sebagai unsur penting yang turut mempercepat proses perubahan sosial dalam masyarakat.
Agama dapat dimaknai sebagai kekuatan yang konservatif. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok fungsionalis, kelompok ini tidak yakin bila agama mampu mewujudkan perubahan sosial. Pertama istilah konservatisme dapat dimaknai bahwa agama memiliki kekuatan untuk menolak perubahan dan cenderung ingin mempertahankan status quo kondisi yang sudah ada. Kelompok fungsionalis berpegang pada pandangannya yang menyatakan bahwa masyarakat harus terus berada pada posisi stabil, seimbang, terintegrasi, dan agama dalam hal ini  berfungsi untuk mempertahankan stabilitas sosial, keseimbangan antar unsur dalam masyarakat, solidaritas, dan integrasi sosial tersebut. Agama dalam definisi ini menyediakan seperangkat nilai, norma, kepercayaan, serta melindungi individu dari berbagai gangguan yang dapat merusak kehidupan sosial. Dalam hal ini, agama juga berfungsi membantu mempertahankan eksistensi kelangsungan hidup masyarakat.
Marx menjelaskan bahwa agama memiliki fungsi untuk memelihara status kelas sosial yang berkuasa diatas kelas yang lain dalam masyarakat secara keseluruhan. Tesis marx ini dilandasi pada fenomena yang berkembang pada masa tumbuh kembangnya ideologi kapitalisme. Kelompok borjuis, menurut marx ternyata menggunakan doktrin agama untuk mempertahankan posisinnya agar dapat terus menguasai dan mengekploitasi kelas proletar. Agama kemudian disebut marx sebagai candu, candu ini yang kemudian menyebabkan kelas proletar terus menikmati ekploitasi dari kelas borjuis, mereka seolah ikhlas menerima penindasan tersebut. Kelas proletar karena doktrin agama yang didengungkan kelas borjuis, merasa bahwa perlakuan kelas borjuis terhadap dirinya bukanlah sebuah penindasan, melainkan mereka menjalankan pertanggung jawaban pekerjaan sebagai sebuah kewajiban agama. Kelas proletar diwajibkan untuk bekerja keras agar dapat mencapai surga.
Kedua, Konservatisme dalam hal ini dimaknai sebagai nilai-nilai, dan kebiasaan yang bersifat tradisonal ( Haralambos dan Holbron. 2014 ). Apabila agama dianggap sebagai unsur yang mampu mempertahankan statusnya, hal ini juga berarti bahwa agama berfungsi untuk memelihara nilai-nilai, dan kepercayaan tradisonal. Nilai-nilai dan kepercayaaan yang bersifat tradisional ini dianggap menghambat terjadinya perubahan sosial. Sementara, bentuk kedua yang tidak jauh berbeda dengan konservatisme adalah kelompok fundamentalisme.
Piliang (2006) memaknai fundalisme sebagai gerakan atau keyakinan yang menekankan kepatuhan yang kaku dan literal terhadap sebuah ajaran atau doktrin dasar. hal ini mengisyaratkan bahwa kelompok fundamental bersifat kaku dalam memaknai perubahan sosial yang terjadi. fundalisme lahir dalam situasi konflik antar budaya urban dan budaya pedesaan di Amerika pasca peran dunia ke II yang muncul bersamaan  dengan situasi yang muncul bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris  dalam proses industrialisasi dan urbanisasi. Bentuk-bentuk sangat agresif sering dijumpai di daerah yang terolisasi dan hanya mendapatkan sedikit simpati dari kalangan masyarakat perkotaan, Fundalisme merupakan gerakan reaksi tehadap pola peradaban  yang timbul dari proses industrialisasi dan urbanisasi . Fundalisme disisi lain juga berfungsi sebagai kelompok yangb mendukung  terjadinya perubahan sosial, mereka sangat kritis terhadap berbagai upaya kelompok tertentu  yang ingin menyingkirkan posisi agama dalam kehidupan sosial.
Parson memberikan pendapatnya mengenai agama menurutnya dalam perkembangan masyarakat, agama kehilangan beberapa fungsi pokoknya. Menurutnya agama merupakan bagian dari sistem budaya. Kepercayaan agama memberikan seperangkat pedoman bagi tindakan manusia, dan agama dapat mengevaluasi tindakan manusia. Sebagai bagian dari budayaa agama memberikan arti kehidupan. Menurut parson kehidupan manusia di dunia penuh dengan kotradiksi atau pertentangan. Agama dalam hal ini memberikan berbagai pengalaman dan pemaknaan dari kontradiksi. Agama menyediakan berbagai jawaban dari permasalahan yang dihadapi manusia. Agama akan tetap menjadi ciri lestari dan permanen dalam sistem-sistem  sosial budaya. Ilmu pengetahuan dan teknologi dinilai akan menghancurkan agama itu sendiri namun pada akhirnya nanti agama akan kembali menjadi instittusi yang selalu ada. Contohnya dalam  kasus gempa bumi dan tsunami di Jepang misalnya, menunjukkan bahwa kecanggihan dan kekuatan teknoligi  yang diciptkan manusia ternyata tidak mampu melawan kekuatan alami. Pada kasus ini manusia akan kembali percaya pada kepercayaan bahwa ada kekuatan lain yang berada di luar dirinya, dan kekuatan tersebut berada di luar akal manusia namun nyatakeberadaannya.
Hal ini dijelaskan bahwa semakin tinggi kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual manusia, maka manusia akan semakin sadar bahwa tidak semua teka-teki atau permasalahan dengan menggunakan akal sehat. Akan banyak fenomena yang tidak mungkin menjelaskan dengan akal sehat. Dan pada akhirnya mereka akan percaya pada hal-hal yang di luar akal sehat
Marx, meskipun pada bagian sebelumnya berada pada posisi yang pesimis, namun kemudian ia menjelaskan bahwa agama juga dapat mendukung perubahan sosial. baginya perubahan dalam infrastuktur yaitu ekonomi, akan diikuti dengan perubahan suprastruktur. Agama dalam hal ini termasuk bagian dalam suprastruktur masyarakat yang mengalami perubahan. Fungsi pokok agama dan militansi sosial dalam perubahan sosial dan budaya  ini dapat dilihat dari banyaknya gerakan-gerakan sosial, kelompok-kelompok atau organisasi berbasis agama perjuangan. Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan banyak dipelopori oleh organisasi keagamaan. Misalnya organisasi muhammadiyah serta peran kaum alim ulama pada masa itu. Dan demonstrasi anti korupsi, mendukung undang-undang tentang aksipornografi dan pornoaksi, dan aksi-aksi masa yang memerang  pelacuran banyak dimotori oleh organisasi yang berbasis agama. Hal ini menunjukkan bahwa agama dan militansi sosial memiliki peranan yang sangat besar dalam perubahan sosial.
Seperti halnya dalam Etika Protestan dan Kapitalisme yaitu Pemikiran besar mengenai agama sebagai agen perubahan sosial yang menjadi sumber rujukan pemikiran Weber dalam bukunya “The Protestan Ethic and The Spirit Of Capitalism’’. Dalam bukunya menjelaskan mengenai bagaimana doktrin agama memegang peranan kunci dalam proses perkembangan kapitalisme dikawasan Eropa yang di sebut sebagai Etika Protestan. Agama merupakan sumber semangat bagi manusia, karena di dalamnya ada banyak doktrin atau ajaran yang turut memengaruhi cara berpikir para pengikutnya.
            Etika Protestan tidak hanya memengaruhi prilkau manusia pada aspek ekonomi saja. Jones(2000) menjelaskan bahwa etika protestan ternyata turut memengaruhi prilaku manusia di ruang publik dan ruang privat. Pertama dalam ruang public, etika protestan memengaruhi perubahan dalam dunia kerja. Etika protestan dinilai mampu meningkatkan profesionalisme pekerja dan manejer untuk tetap bertahan dalam jam kerja tertentu, sehingga mampu meningkatkan responsibilitas mereka. Kedua, dalam ruang privat etika protestan dinilai mampu memengaruhi masalah seks dan penampilan seseorang.
            Weber menekankan bahwa karakteristik ajaran etika protestan yaitu mendukung perkembangan kapitalisme amsyarakat barat yaitu kerja sebagai panggilan hidup. Bekerja bukan sekedar memenuhi keperluan, melainkan bekerja merupakan  tugas suci. Bekerja adalah juga penyucian, sebagai kegiatan agama yang menjamin kepastian akan keselamatan, orang yang tidak bekerja adalah orang yang mengingkari sikap hidup agama dan melarikan diri dari agama.



BAB III
PENUTUP
A.SIMPULAN
            Lembaga keagamaan dengan militansi sosial yaitu berkaitan erat dengan kepercayaaan manusia akan kekuatan supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk maupun aktivitas, juga diwujudkan dalam berbagai symbol. Agama kemudian mampu menggerakan pola pikir manusia, dan mampu mengendalikan prilaku manusia dan agama juga mampu mengubah hidup manusia sedangkan Militansi Sosial  berarti hidup dengan sebuah nilai, bahkan orang rela mati demi terwujudnya nilai tersebut. Menjadi militant tidak terus menerus menjadi fundalis. Nilai hidup seorang militan lahir dengan penempaan kritis dan reflektif. Nilai setiap orang haruslah hidup dengan nilai. Ia perluh memiliki cita-cita tertentu, cita-cita itu terwujudkan secara nyata dengan nilai-nilai yang memengaruhi cara berpikir dan prilakunya. Nilailah yang membuat hidup seseorang lebih bermakna.
B.SARAN
            Dalam hal ini di harapkan agama menjadi katalisator pencegah terjadinya disentegrasi dalam masyarakat. Dan lebih dari itu dengan kekuatan yang dimilikinya agama dapat diharapkan memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustasi, penindasan dan kemiskinan. Lembaga keagamaan adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan maksud untuk memajukan kepentingan keagamaan umat yang bersangkutan di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
           



DAFTAR PUSTAKA
Anwar Yesmil, Adang. 2013.Sosiologi Untuk Unerversitas. Bandung:  PT. Refika Aditama
Martono Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Soekanto Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


           


















































1 komentar:

  1. Wynn casino - Mapyro
    Get 강릉 출장샵 directions, reviews 광명 출장안마 and information for Wynn casino in Las Vegas, NV. MGM Grand Hotel 제주 출장안마 & Casino is the 울산광역 출장샵 center 태백 출장안마 of the Las Vegas Strip.

    BalasHapus