BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu
unsur universal dalam kehidupan umat manusia adalah agama yang disebut juga dengan sistem religi,
agama merupakan bagian dari sistem
religi ini. Hampir setiap umat manusia dimuka bumi mengenal keberadaan agama.
Kemunculan agama tidak lepas dari munculnya sebuah kesadaran dalam diri manusia
mengenai adanya kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Keberadaan zat
adikodrati yang berada di luar diri manusia sudah diyakini sejak manusia
tinggal di bumi.
Auguste Comte telah merumuskan sebuah
teori bahwa tahap awal perkembangan manusia
adalah tahap teologis, pada tahap ini manusia merasakan keberadaan
sesuatu (benda) yang memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Wujud “
Benda” tersebut masih bersifat abstrak, mereka mewujudkan benda tersebut dengan
sebuah dewa atau mahluk lain yang tidak tampak.Kekuatan supranatural itu
bersifat abstarak dan sulit diterima dengan akal sehat.
Akal manusia
pun berkembang, mereka mulai mempercayai hal-hal yang sifatnya konkrit dan
kekuatan supranutal tersebut kemudian di wujudkan dalam bentuk kekuatan yang
sifatnya konkrit. Manusia mulai mempercayai bahwa setiap benda-benda di
sekitar mereka memiliki kekuatan. Mereka
kemudian menyembah pohon, sungai, matahari, serta berbagai fenomena alam
seperti banjir,petir, dan sebagainya yang dapatditangkap oleh pancaindra
mereka.
Agama
berkaitan erat dengan kepercayaaan manusia akan kekuatan supranatural.
Kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk maupun aktivitas, juga
diwujudkan dalam berbagai symbol. Agama kemudian mampu menggerakan pola pikir
manusia, dan mampu mengendalikan prilaku manusia dan agama juga mampu mengubah
hidup manusia. Dimana manusia lebih banyak dibentuk dan ditentukan oleh
pengetahuannya sendiri sehingga pengetahuannya mengatasi kesadarannya. Unutuk
itu dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai agama sebagai militansi sosial
dimasyarakat
B.
RUMUSAN
MASALAHs
1. Jelaskan
pengertian Lembaga Keagamaan dan Militansi sosial ?
2. Jelaskan
Hubungan Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial ?
3. Bagaimana
Peran Lembaga keagamaan dan militansi sosial dalam perubahan sosial dan budaya
?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1. Untuk
mengetahui pengertian Lembaga Keagamaan
dan militansi sosial
2. Untuk
mengetahui Hubungan Lembaga Keagamaan
dan Militansi Sosial
3. Untuk
mengetahui Peran Lembaga keagamaan dan militansi sosial dalam perubahan sosial
dan budaya
D.
MANFAAT
PENULISAN
Dari
penulisan makalah ini diharapkan:
1. Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian Lembaga
Keagamaan dan militansi sosial
2. Mahasiswa
mampu menjelaskan Hubungan lembaga Keagamaan dan militansi sosial
3. Mahasiswa
mampu menjelaskan Peran Lembaga keagamaan dan militansi sosial dalam perubahan
sosial dan budaya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lembaga Keagamaan dan Militansi
Sosial
Sandarson ( 1993)
menyatakan bahwa agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang
universal, dalam arti bahwa setiap masyarakat memiliki cara-cara berpikir dan pola-pola
perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Secara Sosiologis
konsep agama terdiri terdiri atas
berbagai symbol, citra kepercayaan, serta nilai-nilai spesifik
tempat manusia menginterperstasikan eksistensi mereka.
Sosiologi
tidak pernah memberikan penilaiaan bahwa agama yang satu lebih baik daripada
agama yang lain, dan tidak pernah mencari mana agama yang paling benar. Semua
agama memiliki kedudukan yang sama dan merupakan satu bentuk kesatuan dengan
manusia. Secara sosiologis agama
merupakan satu isu yang berkaitan dengan kepercayaan, dan para soiolog
berurusan dengan hal-hal yang sifatnya empiris.( Heslin, 2006 ).
Menurut
Durkheim ( 1815-1917), agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang disatukan
oleh praktik-praktik yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat suci yaitu
hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang. Kepercayaan dan praktik-praktik yang
mempersatukan suatu komunitas moral. yang dinamakan umat. Dari pengertian
diatas mengenai agama yang dimaksud dengan lembaga keagamaan adalah lembaga yang terdapat di
masyarakat dengan beragam variasi yang
biasanya berpusat pada suatu pola yang
sudah tetap dan mapan. Durkhein kemudian melihat bahwa dalam setiap agama
memisahkan antara hal yang sifatnya suci dan duniawi. Aspek kesucian dalam agama
berkaitan dengan sisi supranatural yang menginspirasi, kekaguman, penghormatan,
penghargaan yang mendalam, bahkan rasa
takut. Aspek duniawi menurut durkheim merupakan aspek kehidupan yang tidak terkait dengan agama atau tujuan keagamaan,
namun merupakan satu bagian dalam kehidupan sehari-hari ( Heslin, 2006 ).
E.B Tylor (
1832-1917) menyebutkan bahwa agama bearti keyakinan terhadap sesuatu yang
spiritual. Hal ini dikatakan bahwa sebagai
suatu yang mirip di miliki oleh seluruh agama, yaitu adanya keyakinan terhadap roh-roh berpikir,
berperilaku, dan berperasaan seperti manusia. Esensi dari setiap agama adalah
animism yaitu adanya kepercayaan pada roh-roh nenek moyang.
Karl Marx (
1818-1883) Berpandangan bahwa agama itu adalah sebagai bentuk alienasi. Marx
memunculkan dua titik tolak pemikiran
yaitu bahwa ekonomi sebagai hal yang memengaruhi prilaku manusia serta yang kedua adalah dalam sejarahnya manusia memiliki konflik pertentangan kelas
yang terjadi secara terus menerus antara yang memiliki barang dan yang harus
bekerja banting tulang agar tetap bertahan hidup. Seperti pula bahwa kebutuhan
hidup manusia adalah sandang, pangan, dan papan yang setelah mampu di dapatkan
akan menuju keinginan lainnya. Alienasi menurut Marx adalah suatu keteransingan
dari manusia itu sendiri, hal tersebut terjadi karena perbuatan manusia itulah
yang menyebabkan terjadinya alienasi. Dan tentu saja alienasi ada yang
diletakkan secara sengaja kepada manusia termasuk ide-idenya sendiri padahal
manusia adalah yang pemilik sebenarnya. Itulah alienasinya yang paling riil dan
menjadi penyebab kesengsaraan manusia.
Namun kritik mengatakan bahwa pemahaman
marx terhadap agama sebagai candu masyarakat dan tempat pelarian
masyarakat miskin dari kesengsaraan dan penindasan, sebenarnya dalam benaknya adalah menjelaskan tentang agama
Kristen. Hal itu akan berbeda jika menjelaskan
kebahagiaan hidup setelah mati dan reinkarnasi agama hindu atau
kesabaran hidup agama Buddha.
J.G. Frazer (
1854-1941) memberikan pemahaman mengenai agama berhubungan dengan istilah magic
pada jaman primitive. Di mana pada saat itu yang memiliki predikat penguasa
magic adalah dukun, tabib, atau tukang sihir yang dianggap mendapatkan
kekuasaan sosial dan bahkan menjadi penguasa karena kekuatannya tersebut magis
adalah suatu kekuatan yang pada saat itu dapat menguasai alam. Seperti halnya mampu
menurunkan hujan atau mendapatkan cahaya pada saat petani membutuhkannya. Magis di sebut sebagai suatu pengetahuan yang
salah dan pada akhirnya digantikan oleh agama saat kemundurannya magis walaupun
memiliki kemiripan tersendiri. Jadi agama merupakan suatu evalusi pemikiran
dari manusia yang pada akhirnya mengalami kemunduran akibat kedatangan suatu
ilmu pengetahuan dan peranannya akan tergantikan.
Adapun
Militansi sosial pertama dalam kamus bahasa Indonesia besar kata militant
memiliki arti bersemangat atau bergairah, istilah ini sebenarnya dapat bermkna
baik, John M. Echols dan Hasan S Hasan Syadily menerjemahkan kata militant
dengan agresip. Dan militant juga didefinisikan sebagai self-assertife ( ketegasan diri ) memiliki semangat yang tak pernah tinggi dan
seolah ada di mana-mana.
Hanya saja
saat ini istilah militant semakin menyempit terbukti saat ini istilah militant
Cuma ditujukan dan selalu identik dengan
orang atau kelompok yang kadang di beri label garis keras. Bahkan cenderung di
bumbui dengan sinisme kepada individu atau kelompok tertentu. Makna yang
berkembang di masyarakat terhadap kata itu telah berubah jadi buruk. Sebab kata
ini terus di kaitkan dengan kata terorisme. Orang yang melakukan teror bukan
saja disebut teroris tetapi di sebut juga dengan militant. Kata militant merujuk
pada orang atau kelompok, orang-orang yang ikut dalam pertempuran fisik maupun
verbal yang agresif. Istilah Negara militan dalam bahasa sehari-hari merujuk
pada suatu Negara yang memiliki sifat agresif dalam mendukung sebuah ideology atau
perkara. Militansi Sosial berarti hidup
dengan sebuah nilai, bahkan orang rela mati demi terwujudnya suatu nilai.
B.
Hubungan
Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial
Agama
merupakan suatu lembaga atau institusi
penting yang mengatur kehidupan manusia. Dalam hal ini agama diartikan
sebagai religius. Lembaga keagamaan adalah organisasi yang dibentuk oleh umat
beragama dengan maksud untuk memajukan kepentingan keagamaan umat yang
bersangkutan di dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan kualitas hidup keagamaan masing-masing umat beragama.
Unsur-unsur
lembaga keagamaan menurut Lihgt, Keller dan callhoum (1989) unsur-unsur dasar
agama adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan
adalah suatu prinsip yang dianggap benar dan tanpa ada keraguan lain seperti
kepercayaan monotheisme yang dipercaya bahwa tuhan itu satu dan percaya adanya
reinkarnasi bagi umat-umat timur seperti hindu dan budha
b. Praktik
keagamaan seperti berdoa, sembahyang, berpuasa, dan sedekah. Praktik keagamaan
berbeda dengan ritual keagamaan karena ritual keagamaaan meliputi hubungan
manusia dengan tuhannya dan praktik keagamaan meliputi hubungan manusia dengan manusia yang lain sesuai
dengan ajaran agama
c. Simbol
keagamaan yaitu tanda atau identifikasi agama yang dianut misalnya bangunan rumah, corak pakaiaan, rumah ibadat
umat hindu ( Pura dan Candi ).
Adapun hubungan
lembaga keagamaan dengan militansi sosial adalah Agama berkaitan erat dengan
kepercayaaan manusia akan kekuatan supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan
dalam berbagai bentuk maupun aktivitas, juga diwujudkan dalam berbagai symbol.
Agama kemudian mampu menggerakan pola pikir manusia, dan mampu mengendalikan
prilaku manusia dan agama juga mampu mengubah hidup manusia. Dimana manusia
lebih banyak dibentuk dan ditentukan oleh pengetahuannya sendiri sehingga
pengetahuannya mengatasi kesadarannya.
Sedangkan
Militansi Sosial berarti hidup dengan
sebuah nilai, bahkan orang rela mati demi terwujudnya nilai tersebut. Menjadi
militant tidak terus menerus menjadi fundalis. Nilai hidup seorang militan
lahir dengan penempaan kritis dan reflektif. Nilai setiap orang haruslah hidup
dengan nilai. Ia perluh memiliki cita-cita tertentu, cita-cita itu terwujudkan
secara nyata dengan nilai-nilai yang memengaruhi cara berpikir dan prilakunya.
Nilailah yang membuat hidup seseorang lebih bermakna. Sekarang ini di Indonesia
banyak hidup tanpa nila, mereka tidak memiliki cita-cita luhur sebagai arah
hidupnya, nilain adalah syarat bagi semangat militansi bahkan militansi dapat
di artikan sebagai suatu sikap hidup yang berpegang pada nilai dalam setiap
pola pikir dan prilaku. Orang militant bersediah mati di dalam proses
mewujudkan nilai.
Orang militant
hidup dengan prinsip yang teguh, namun fleksibel dalam tataran prilaku di dalam
proses mewujudkan mimpi itu, di Indonesia kita lebih banyak menemukan orang
fundamentalis daripada orang militant, sikap militansi dengan mudah kita
temukan pada sosok bapak-bapak Indonesia
seperti Bung Hatta, Bung Karno bahkan Tanmalaka. Sementara saat ini yang kita
temukan adalah sikap fundamentalis, ini semua terjadi karena kita jarang
berpikir kritis akibatnya kita sebagai bangsa kita sulit untuk berubah.
C.
Peran Lembaga Keagamaan dan Militansi Sosial dalam
Perubahan Sosial Budaya
Konsepsi
mengenai agama sebenarnya sudah dikenal sejak manusia hidup di Bumi, hanya saja
konsep agama pada awalnya masih terbatas, hanya mencakup hubungan manusia
dengan kekuatan supranatural. Agama belum menjadi pedoman dalam prilaku manusia
sehari-hari. Agama seolah terpisah dengan prilaku manusia. Peran agama dalam
kehidupan sosial terkait erat dengan perkembangan pola pikir manusia, sehingga
agama juga memainkan peran yang sangat besar dalam proses perubahan sosial di
masyarakat. Untuk itu agama juga diposisikan denagan agen perubahan sosial.
Dalam konteks
sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan
aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial dalam masyarakat dapat
disebut sebagai historical force yang turut menentukan perubahan dan
perkembangan masyarakat.
Dalam hal ini
agama menjadi katalisator pencegah terjadinya disentegrasi dalam masyarakat.
Dan lebih dari itu dengan kekuatan yang dimilikinya agama dapat diharapkan
memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial,
mengatasi rasa frustasi, penindasan dan kemiskinan. Memahami agama sebagai
gejala kebudayaan tertentu bersifat konstektual yakni memahami fenomena
keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama di
kembalikan pada konteks manusia menghayati dan yang meyakininya, baik manusia
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Ada dua aliran
yang melihat peran agama dalam proses perubahan sosial. Posisi Pertama memandang bahwa agama dimaknai sebagai institusi yang
menghambat proses perubahan sosial. Pada posisi ini, agama dimaknai sebagai
kekuatan konservatif. Posisi ini
didasarkan pada pemikiran yang psimis jika agama dapat mendukung proses
perubahan sosial. Posisi kedua sebaliknya
memandang agama sebagai unsur penting yang turut mempercepat proses perubahan
sosial dalam masyarakat.
Agama dapat
dimaknai sebagai kekuatan yang konservatif. Pendapat ini dikemukakan oleh
kelompok fungsionalis, kelompok ini tidak yakin bila agama mampu mewujudkan
perubahan sosial. Pertama istilah
konservatisme dapat dimaknai bahwa agama memiliki kekuatan untuk menolak
perubahan dan cenderung ingin mempertahankan status quo kondisi yang sudah ada.
Kelompok fungsionalis berpegang pada pandangannya yang menyatakan bahwa
masyarakat harus terus berada pada posisi stabil, seimbang, terintegrasi, dan
agama dalam hal ini berfungsi untuk
mempertahankan stabilitas sosial, keseimbangan antar unsur dalam masyarakat,
solidaritas, dan integrasi sosial tersebut. Agama dalam definisi ini
menyediakan seperangkat nilai, norma, kepercayaan, serta melindungi individu
dari berbagai gangguan yang dapat merusak kehidupan sosial. Dalam hal ini,
agama juga berfungsi membantu mempertahankan eksistensi kelangsungan hidup masyarakat.
Marx
menjelaskan bahwa agama memiliki fungsi untuk memelihara status kelas sosial
yang berkuasa diatas kelas yang lain dalam masyarakat secara keseluruhan. Tesis
marx ini dilandasi pada fenomena yang berkembang pada masa tumbuh kembangnya
ideologi kapitalisme. Kelompok borjuis, menurut marx ternyata menggunakan doktrin
agama untuk mempertahankan posisinnya agar dapat terus menguasai dan
mengekploitasi kelas proletar. Agama kemudian disebut marx sebagai candu, candu
ini yang kemudian menyebabkan kelas proletar terus menikmati ekploitasi dari
kelas borjuis, mereka seolah ikhlas menerima penindasan tersebut. Kelas
proletar karena doktrin agama yang didengungkan kelas borjuis, merasa bahwa
perlakuan kelas borjuis terhadap dirinya bukanlah sebuah penindasan, melainkan
mereka menjalankan pertanggung jawaban pekerjaan sebagai sebuah kewajiban
agama. Kelas proletar diwajibkan untuk bekerja keras agar dapat mencapai surga.
Kedua, Konservatisme dalam hal ini
dimaknai sebagai nilai-nilai, dan kebiasaan yang bersifat tradisonal (
Haralambos dan Holbron. 2014 ). Apabila agama dianggap sebagai unsur yang mampu
mempertahankan statusnya, hal ini juga berarti bahwa agama berfungsi untuk
memelihara nilai-nilai, dan kepercayaan tradisonal. Nilai-nilai dan kepercayaaan
yang bersifat tradisional ini dianggap menghambat terjadinya perubahan sosial.
Sementara, bentuk kedua yang tidak jauh berbeda dengan konservatisme adalah
kelompok fundamentalisme.
Piliang (2006)
memaknai fundalisme sebagai gerakan atau keyakinan yang menekankan kepatuhan
yang kaku dan literal terhadap sebuah ajaran atau doktrin dasar. hal ini
mengisyaratkan bahwa kelompok fundamental bersifat kaku dalam memaknai
perubahan sosial yang terjadi. fundalisme lahir dalam situasi konflik antar
budaya urban dan budaya pedesaan di Amerika pasca peran dunia ke II yang muncul
bersamaan dengan situasi yang muncul
bersamaan dengan situasi depresi nilai-nilai agraris dalam proses industrialisasi dan urbanisasi.
Bentuk-bentuk sangat agresif sering dijumpai di daerah yang terolisasi dan
hanya mendapatkan sedikit simpati dari kalangan masyarakat perkotaan,
Fundalisme merupakan gerakan reaksi tehadap pola peradaban yang timbul dari proses industrialisasi dan
urbanisasi . Fundalisme disisi lain juga berfungsi sebagai kelompok yangb
mendukung terjadinya perubahan sosial,
mereka sangat kritis terhadap berbagai upaya kelompok tertentu yang ingin menyingkirkan posisi agama dalam
kehidupan sosial.
Parson
memberikan pendapatnya mengenai agama menurutnya dalam perkembangan masyarakat,
agama kehilangan beberapa fungsi pokoknya. Menurutnya agama merupakan bagian
dari sistem budaya. Kepercayaan agama memberikan seperangkat pedoman bagi
tindakan manusia, dan agama dapat mengevaluasi tindakan manusia. Sebagai bagian
dari budayaa agama memberikan arti kehidupan. Menurut parson kehidupan manusia
di dunia penuh dengan kotradiksi atau pertentangan. Agama dalam hal ini
memberikan berbagai pengalaman dan pemaknaan dari kontradiksi. Agama
menyediakan berbagai jawaban dari permasalahan yang dihadapi manusia. Agama
akan tetap menjadi ciri lestari dan permanen dalam sistem-sistem sosial budaya. Ilmu pengetahuan dan teknologi
dinilai akan menghancurkan agama itu sendiri namun pada akhirnya nanti agama
akan kembali menjadi instittusi yang selalu ada. Contohnya dalam kasus gempa bumi dan tsunami di Jepang
misalnya, menunjukkan bahwa kecanggihan dan kekuatan teknoligi yang diciptkan manusia ternyata tidak mampu
melawan kekuatan alami. Pada kasus ini manusia akan kembali percaya pada
kepercayaan bahwa ada kekuatan lain yang berada di luar dirinya, dan kekuatan
tersebut berada di luar akal manusia namun nyatakeberadaannya.
Hal ini
dijelaskan bahwa semakin tinggi kemampuan berpikir atau kemampuan intelektual
manusia, maka manusia akan semakin sadar bahwa tidak semua teka-teki atau
permasalahan dengan menggunakan akal sehat. Akan banyak fenomena yang tidak
mungkin menjelaskan dengan akal sehat. Dan pada akhirnya mereka akan percaya
pada hal-hal yang di luar akal sehat
Marx, meskipun
pada bagian sebelumnya berada pada posisi yang pesimis, namun kemudian ia
menjelaskan bahwa agama juga dapat mendukung perubahan sosial. baginya
perubahan dalam infrastuktur yaitu ekonomi, akan diikuti dengan perubahan
suprastruktur. Agama dalam hal ini termasuk bagian dalam suprastruktur
masyarakat yang mengalami perubahan. Fungsi pokok agama dan militansi sosial dalam
perubahan sosial dan budaya ini dapat
dilihat dari banyaknya gerakan-gerakan sosial, kelompok-kelompok atau
organisasi berbasis agama perjuangan. Bangsa Indonesia dalam memperjuangkan
kemerdekaan banyak dipelopori oleh organisasi keagamaan. Misalnya organisasi
muhammadiyah serta peran kaum alim ulama pada masa itu. Dan demonstrasi anti
korupsi, mendukung undang-undang tentang aksipornografi dan pornoaksi, dan
aksi-aksi masa yang memerang pelacuran
banyak dimotori oleh organisasi yang berbasis agama. Hal ini menunjukkan bahwa
agama dan militansi sosial memiliki peranan yang sangat besar dalam perubahan
sosial.
Seperti halnya
dalam Etika Protestan dan Kapitalisme yaitu Pemikiran besar mengenai agama
sebagai agen perubahan sosial yang menjadi sumber rujukan pemikiran Weber dalam
bukunya “The Protestan Ethic and The
Spirit Of Capitalism’’. Dalam bukunya menjelaskan mengenai bagaimana
doktrin agama memegang peranan kunci dalam proses perkembangan kapitalisme
dikawasan Eropa yang di sebut sebagai Etika Protestan. Agama merupakan sumber
semangat bagi manusia, karena di dalamnya ada banyak doktrin atau ajaran yang
turut memengaruhi cara berpikir para pengikutnya.
Etika Protestan tidak hanya
memengaruhi prilkau manusia pada aspek ekonomi saja. Jones(2000) menjelaskan
bahwa etika protestan ternyata turut memengaruhi prilaku manusia di ruang
publik dan ruang privat. Pertama dalam ruang public, etika protestan
memengaruhi perubahan dalam dunia kerja. Etika protestan dinilai mampu
meningkatkan profesionalisme pekerja dan manejer untuk tetap bertahan dalam jam
kerja tertentu, sehingga mampu meningkatkan responsibilitas mereka. Kedua,
dalam ruang privat etika protestan dinilai mampu memengaruhi masalah seks dan
penampilan seseorang.
Weber menekankan bahwa karakteristik
ajaran etika protestan yaitu mendukung perkembangan kapitalisme amsyarakat
barat yaitu kerja sebagai panggilan hidup. Bekerja bukan sekedar memenuhi
keperluan, melainkan bekerja merupakan
tugas suci. Bekerja adalah juga penyucian, sebagai kegiatan agama yang
menjamin kepastian akan keselamatan, orang yang tidak bekerja adalah orang yang
mengingkari sikap hidup agama dan melarikan diri dari agama.
BAB III
PENUTUP
A.SIMPULAN
Lembaga keagamaan
dengan militansi sosial yaitu berkaitan erat dengan kepercayaaan manusia akan
kekuatan supranatural. Kepercayaan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk maupun
aktivitas, juga diwujudkan dalam berbagai symbol. Agama kemudian mampu
menggerakan pola pikir manusia, dan mampu mengendalikan prilaku manusia dan
agama juga mampu mengubah hidup manusia sedangkan Militansi Sosial berarti hidup dengan sebuah nilai, bahkan
orang rela mati demi terwujudnya nilai tersebut. Menjadi militant tidak terus
menerus menjadi fundalis. Nilai hidup seorang militan lahir dengan penempaan
kritis dan reflektif. Nilai setiap orang haruslah hidup dengan nilai. Ia perluh
memiliki cita-cita tertentu, cita-cita itu terwujudkan secara nyata dengan
nilai-nilai yang memengaruhi cara berpikir dan prilakunya. Nilailah yang
membuat hidup seseorang lebih bermakna.
B.SARAN
Dalam
hal ini di harapkan agama menjadi katalisator pencegah terjadinya disentegrasi
dalam masyarakat. Dan lebih dari itu dengan kekuatan yang dimilikinya agama
dapat diharapkan memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala
problem sosial, mengatasi rasa frustasi, penindasan dan kemiskinan. Lembaga
keagamaan adalah organisasi yang dibentuk oleh umat beragama dengan maksud
untuk memajukan kepentingan keagamaan umat yang bersangkutan di dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Yesmil, Adang. 2013.Sosiologi Untuk Unerversitas. Bandung: PT. Refika Aditama
Martono Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Soekanto Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Wynn casino - Mapyro
BalasHapusGet 강릉 출장샵 directions, reviews 광명 출장안마 and information for Wynn casino in Las Vegas, NV. MGM Grand Hotel 제주 출장안마 & Casino is the 울산광역 출장샵 center 태백 출장안마 of the Las Vegas Strip.